KEBIJAKAN EKONOMI PEMERINTAH JEPANG DAN PENGARUHNYA TERHADAP RAKYAT INDONESIA 1942-1945
oleh : Bimo Adriawan
A. Kedatangan Jepang
Kapitulasi Kalijati |
Sebelum menguasai wilayah Indonesia, Jepang menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour di bawah komando Laksamana Nagano pada 7 Desember 1941. Setelah melumpuhkan kekuatan Amerika Serikat di Pasifik, Pada tanggal 18 Desember 1941, Hindia Belanda mengumumkan perang dengan Jepang. Pada 1 Januari 1942, Jepang meresponnya dengan menyatakan perang dengan Hindia-Belanda. Militer Jepang masuk ke Hindia-Belanda melalui Tarakan (Kalimantan) (Lubis, 2004:144).
Selanjutnya militer Jepang bergerak ke Pulau Jawa, mereka dengan mudah menghancurkan armada laut sekutu di Laut Jawa, kemudian mendarat di daerah Eretan Wetan, Cirebon dan Banten pada 1 Maret 1942. Militer Jepang pada hari yang sama, berhasil menguasai lapangan udara Kalijati, Subang. Pemerintah Kolonial berusaha merebut kembali lapangan udara Kalijati pada 2-4 Maret 1942, tetapi gagal.
Pada 5 Maret 1942, militer Jepang, bersiap-siap untuk menggempur Ciater dan diteruskan ke Bandung. Pasukan Belanda yang berada di Ciater terpaksa mundur ke Lembang. Kekuatan Jepang tidak dapat dibendung oleh pasukan Belanda, akhirnya pada 7 Maret 1942, Lembang berhasil dikuasai oleh Jepang. Pasukan Sekutu yang bertahan di Bandung akhirnya menyerah pada 9 Maret 1942, Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang (Lubis, 2004:145-146).
B. Kebijakan Umum Pemerintah Jepang
Perang Asia Timur Raya |
Bahasa Indonesia dan bendera merah putih tidak lagi dikekang oleh pemerintah. Pribumi yang berpendidikan mendapat jabatan di pemerintahan. Ulama pun digandeng oleh pemerintah Jepang, berbeda dengan pemerintah Hindia-Belanda yang kerap bersitegang dengan ulama. Upaya-upaya tersebut berhasil membuat rakyat Indonesia bersimpati.
Propaganda Jepang |
Stratifikasi sosial pada pemerintahan Jepang berubah, Jepang berada di posisi teratas disusul oleh Timur Asing dan Indonesia pada lapis kedua, dan Belanda serta Eropa pada lapis ketiga, sebelumnya pada pemerintahan Hindia-Belanda Jepang berada di lapis kedua dan Belanda serta Eropa di lapis pertama. Penempatan orang Belanda dan Eropa pada lapis ketiga berdampak pada perkebunan yang telah mereka bangun. Perkebunan milik Belanda dan Eropa disita oleh Jepang. Berbagai kebijakan yang mengatur perkebunan dikeluarkan, seperti produksi, rehabilitasi, dan pemberian kredit (Lubis, 2004:152).
C. Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang
Romusha |
Sistem perekrutan diselenggarakan di desa-desa melalui lurah/kepala desa. Kondisi ekonomi yang serba sulit membuat dan iming-iming kehidupan yang lebih baik membuat rakyat melamar menjadi romusha. Tenaga kerja yang melamar menjadi romusha dipaksa bekerja di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan Jepang. Pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang berat, seperti pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai, lubang perlindugan, parit perlindungan, dan pabrik amunisi (Kurosawa, 1993:144).
Romusha dalam kesepakatan mendapatkan bayaran sebesar F. 0.50/hari dan F. 30/bulan dikirim ke keluarga mereka. Pada praktiknya, romusha dibayar kurang dari kesepakatan atau bahkan tidak dibayar. Pembayaran di setiap tempat kerja paksa berbeda-beda, ada yang dibayar F. 0.14/hari hingga F. 1.00/hari. Namun, upah yang diterima oleh romusha tidak mencukupi biaya hidupnya, harga gabah/kg adalah F. 0.10 pada Maret 1944 (Kurosawa, 1993:149).
Ilustrasi: Pabrik yang Ditinggalkan |
Semua perusahaan gula milik Belanda dan Eropa disita, kemudian Jepang menyerahkan pengelolaan industri gula kepada enam perusahaan milik Jepang. Enam perusahaan Jepang tersebut membawahi perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa. Jumlah perkebunan selama pendudukan Jepang terus berkurang, dari 85 (1942) menjadi 13 (1945).
Begitu pula dengan angka produksi, pada tahun 1942, produksi gula mencapai 1.325.802 ton, menurun drastis menjadi hanya 84.245 ton pada tahun 1945. Jumlah produksi pada tahun 1945 merupakan jumlah yang terburuk, lebih rendah dari masa Depresi (1935) yang mencapai 506.659 ton (Kurosawa, 1993:37-43). Tidak hanya produksi gula yang menurun, produksi karet karena produksi di Jawa dan Kalimantan terhenti hal yang sama juga tejadi pada komoditas teh (Ricklefs, 2001:249).
Perkebunan Tebu Tak Lagi Berdenyut |
Mereka menggantungkan hidupnya dari upah perkebunan. Begitu produksi gula dikurangi, kehidupan mereka menjadi semakin sulit. Akibat, pengurangan produksi gula, jumlah pengangguran meningkat. Para pengangguran ini banyak dimobilisasi oleh kinro hoshi (tenaga kerja sukarela) untuk menjadi romusha (Kurosawa: 1993:47). Pilihan yang benar-benar sulit.
Terdapat usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi ini, pada Juli 1944, Fujinkai dan Kridodarmo membuatkan 200.000 baju untuk dihadiahkan kepada romusha, bahan pembuatan baju ini disediakan oleh Koochi Zimu Kyoku (Sinar Baroe, 15 Juli 1944:3). Perhatian bagi keluarga romusha pun berdatangan dari badan-badan bentukkan Jepang, pada bulan yang sama, keluarga dan anak-anak romusha diberikan sejumlah pakaian dan uang (Surakarta dan Surabaya) (Asia Raya, 15 Juli 1944:2).
Mereka pun diberikan pekerjaan untuk menambah hasil bumi atau membuat pakaian (Sinar Baroe, 29 Juli 1944:3). Kemudian pada September 1944, dukungan terhadap romusha juga muncul dari Chuoo Sangi in, yang menempatkan romusha sebagai prajurit ekonomi, artinya mereka layak diberi penghargaan sama seperti prajurit PETA dan Heiho.
Para Romusha |
D. Kesimpulan
Jepang membutuhkan sumber daya untuk menunjang Perang Pasifik. Indonesia yang berhasil dikuasai oleh Jepang, merupakan “gudang” sumber daya, terdapat banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia. Untuk menjamin kelancaran perang, Jepang berusaha untuk menarik simpati rakyat Indonesia dengan menampilkan kesan pertama yang begitu baik. Terdapat kebijakan yang menguntungkan pribumi, dan kebanyakan dari kebijakan lainnya merugikan pribumi.
Eksploitasi ekonomi merupakan bukti nyata dari kebijakan yang sangat merugikan pribumi. Bentuk dari kebijakan ini adalah romusha, atau kerja paksa. Sekitar dua ratus ribu rakyat pribumi menjadi romusha. Pekerjaan yang dilakukan romusha merupakan kerja yang berat, tetapi upah yang diberikan tidak sebanding dengan pekerjaan dan harga barang-barang kebutuhan. Pengurangan produksi perkebunan mengakibatkan para petani yang menganggur memilih untuk menjadi romusha. Lingkaran setan eksploitasi ekonomi ini terus ada sampai tahun 1945, ketika Jepang menyerah pada sekutu dan Indonesia merdeka.
Daftar Pustaka :
Buku:
Drakeley, Steven.2005.
The History of Indonesia. Westport: Greenwood.
Kurosawa, Aiko.1993.
Mobilisasi dan Kontrol;Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Lubis, Nina H. 2004.
Banten dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES.
Ricklefs, M.C.2001.
A History of Modern Indonesia since c. 1200; Third Edition. Basingstoke: Palgrave.
Koran (www.niod.x-cago.com):
Asia Raya, 15 Juli 1944
Sinar Baroe, 15 Juli 1944
Sinar Baroe, 29 Juli 1944
Sinar Baroe, 1 September 1944
Sinar Baroe, 19 Februari 1945
Sumber Internet:
http://www.bloggaul.com/martanto/readblog/100459/kebijakan-ekonomi-pemerintahan-jepang-dan-perubahan-sosial-ekonomi-masyarakat-jawa-tahun-1942-1945
Sumber Gambar:
Kapitulasi Kalijati
http://bloggerpurworejo.com/
Perang Asia Timur Raya
http://sejarahperang.com/
Propaganda Jepang
http://genius.smpn1-mgl.sch.id/
Romusha
http://sdnbaktijaya01.wordpress.com/
Ilustrasi: Pabrik yang Ditinggalkan
http://tmdag.com/
Perkebunan Tebu Tak Lagi Berdenyut
http://bisnisukm.com/
Para Romusha
http://pojokmiliter.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment