SEKELUMIT TOKOH EKONOMI INDONESIA
oleh: Bimo Adriawan
oleh: Bimo Adriawan
Pendahuluan
![]()  | 
| Pembangunan | 
Ekonomi  adalah faktor yang turut serta menentukan posisi kesejahteraan suatu bangsa. Kestabilan ekonomi dan pertumbuhannya sangat  berperan dalam kemajuan serta pembangunan yang sedang gencar dilakukan  oleh bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan sampai sekarang perekonomian  belum menunjukkan kestabilan, mungkin pada saat orde baru ekonomi bangsa  Indonesia berada dalam kondisi yang cukup stabil meskipun dibaliknya banyak catatan hitam. 
Kondisi  perekonomian kembali goyah pasca reformasi setidaknya hal tersebut dapat  diamati dari jumlah pengangguran terdidik yang merangkak naik, harga  barang yang melambung tinggi, dan nilai tukar rupiah yang lemah. Banyak  tokoh Indonesia yang berjuang untuk memperkuat perekonomian bangsa  Indonesia. 
Perjuangan para tokoh Indonesia untuk memperbaiki ekonomi  Indonesia patut kita hargai meskipun kerap kali para pejuang ekonomi  terlilit dengan kasus-kasus berkaitan juga dengan ekonomi yang membuat  namanya tercemar.Berikut adalah dua tokoh dari banyak tokoh yang  berjuang demi kemajuan ekonomi bangsa Indonesia :

Ibnu Sutowo (1914-2001) 
![]()  | 
| Ibnu Sutowo | 
Ibnu  Sutowo lahir di Yogyakarta pada tanggal 23 September 1914 dan meninggal  di Jakarta pada tanggal 21 Januari 2001. Ibnu Sutowo merupakan seorang  dokter yang bertugas di Palembang dan Martapura pada tahun 1940. 
Pasca  kemerdekaan ia sempat bertugas sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara  se-Sumatera Selatan (1946-1947). Masuknya Ibnu Sutowo ke militer sangat  dimungkinkan karena pasca kemerdekaan Indonesia, bangsa ini membutuhkan  banyak tenaga untuk memperkuat pertahanan karena melihat kemungkinan  Belanda akan kembali lagi untuk menguasai Indonesia. Posisi militer  tertinggi yang dijabat oleh Ibnu Sutowo adalah sebagai Pangdam Sriwijaya  pada tahun 1955 dengan pangkat kolonel.
Pada  tahun 1957, Ibnu Sutowo ditempatkan oleh atasannya Nasution sebagai  pimpinan perusahaan minyak baru yang diberi nama Permina (perusahaan  Minyak Nasional). Masuknya tentara ke dalam Industri minyak ini  disebabkan oleh pengelolaan yang buruk karena pengambilalihan  perusahaan itu tidak terlihat manfaatnya terhadap perekonomian dan juga  tentara. 
Karena alasan itu lah Nasution menempatkan Ibnu Sutowo yang  memiliki kemampuan administrasi yang baik sebagai pimpinan Permina. Pada  tahun 1968 pemerintah memfokuskan kebijakan ekonominya pada minyak,  meskipun industri lain yang memerlukan modal intensif dan teknologi  tinggi serta menghasilkan mineral dan karet juga berkembang pesat.
![]()  | 
| Pertamina | 
Pengeboran  lepas pantai dimulai pada tahun 1966 dan berkembang pesat pada tahun  1968. Pada Agustus 1968, peran bisnis tentara semakin kokoh ketika  perusahaan minyak Pertamin (1961) dan Permina digabung menjadi  Pertamina (Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara).
Ibnu  Sutowo segera memperoleh reputasi internasional karena manajemennya yang  agresif dan penuh visi. Pertamina hanya melakukan sedikit pengeboran  sendiri, selebihnya perusahaan ini (bukan pemerintah) mengadakan  perjanjian pembagian produksi dengan perusahaan asing. 
Pada era Ibnu  Sutowo, produksi minyak tumbuh sekitar 15% pada tahun 1968-1969 dan  hampir 20% pada tahun 1970. Kondisi tersebut didukung oleh para  teknokrat yang mampu mengendalikan inflasi. Inflasi dapat berkurang  sampai sekitar 85% pada tahun 1968, tetapi banyak rakyat belum merasakan  kesejahteraan.
Perkembangan  selanjutnya, rencana ekonomi pemerintah bergantung pada pengendalian  pendapatan minyak, yang berarti harus mampu mengendalikan Pertamina. Di  bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo, Pertamina telah tumbuh menjadi salah  satu korporasi terbesar di dunia. Pertamina menghasilkan sendiri 28.2%  minyak nasional pada akhir tahun 1973 dan mengadakan perjanjian  pembagian produksi dengan Caltex (menghasilkan 67.8% minyak) dan Stanvac  (3.6%). 
![]()  | 
| Bina Graha | 
Pertamina juga menguasai 7 kilang minyak Indonesia,  terminal-terminal minyak 116 kapal tangki, 102 kapal lainnya, dan sebuah  masakapai penerbangan. Pertamina juga menanamkan modalnya di perusahaan  semen, pupuk, gas alam cair, baja, rumah sakit, perumahan, pertanian  padi, dan telekomunikasi, serta membangun kantor eksekutif kepresidenan  (Bina Graha) di Jakarta. 
Hampir semua kebijakan Pertamina berada di luar  kendali pemerintah dan untuk mendanai kebijakannya dilakukan hutang  besar-besaran yang akhirnya membuat pemerintah memperketat syarat-syarat  peminjaman dana oleh Ibnu Sutowo dari luar negeri. Pada bulan Februari  1975, Pertamina tidak mampu lagi membayar pinjamannya dari beberapa bank  Amerika dan Kanada. Akhirnya pada tahun 1976, Ibnu Sutowo diberhentikan  sebagai dirut Pertamina.
Kesimpulan
Ibnu  Sutowo adalah seorang militer yang ditugaskan untuk menjabat sebagai  pimpinan Permina (yang pada tahun 1968 berubah menjadi Pertamina selelah  bergabung dengan Pertamin). Di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo,  Pertamina menjadi sebuah perusahaan Negara yang besar dan turut  mendongkrak perekonomian di Indonesia. Artinya penunjukan Ibnu Sutowo  oleh Nasution membawa dampak yang baik. Kita seharusnya menghargai jasa  Ibnu Sutowo dalam bidang ekonomi, di bawah kepemimpinannya Pertamina  pada akhir 1960-an dan awal 1970-an menjadi perusahaan yang  berkontribusi besar dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bangsa  Indonesia.
Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001)
![]()  | 
| Sumitro | 
Profesor  Sumitro Djojohadikusumo adalah ahli ekonomi Indonesia yang mengeluarkan  kebjiakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ketika ia menjabat sebagai  menteri perdagangan (1950-1953). Pada masa ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan (1950-1953), Sumitro berusaha mengubah struktur ekonomi yang  berat sebelah dengan menumbuhkan industrialisasi. 
Sasaran rencana itu  dipusatkan pada pembangunan industri dasar, seperti pabrik semen,  percetakan, pabrik karung, dan pemintalan. Kebijakan itu diikuti dengan  perbaikan prasarana, liberalisasi pertanian, dan penanaman modal asing.  Sumitro berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus segera ditumbuhkan  menjadi kelas pengusaha. 
Para pengusaha Indonesia yang pada umumnya  bermodal lemah, diberi kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam  membangun ekonomi nasional. Mereka harus dibimbing dan diberi bantuan  kredit karena pemerintah menyadari bahwa pada umumnya mereka tidak  mempunyai cukup modal. Dengan usaha secara bertahap. Pengusaha akan  berkembang maju. Tujuannya adalah mengubah struktur ekonomi colonial ke  struktur ekonomi nasional. Program Sumitro ini dikenal dengan nama  Gerakan Benteng.
Selama  tiga tahun (1950-1953) kurang lebih 700 perusahaan bangsa Indonesia  mendapat program benteng. Namun, usaha tersebut tidak mencapai sasaran,  karena pengusaha-pengusaha Indonesia ternyata lamban untuk menjadi  dewasa. Bahkan ada yang menyalahgunakan bantuan tersebut. 
![]()  | 
| Bangkrut | 
Kegagalan  program itu disebabkan pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan  pengusaha nonpribumi, dalam rangka pelaksanaan ekonomi liberal. Faktor  lain berasal dari mentalitas pengusaha kita yang cenderung pada pola  konsumtif, sehingga berkeinginan cepat mendapat keuntungan yang besar  dan menikmati hidup mewah.
Kesimpulan
![]()  | 
| PRRI Permesta | 
Sumitro  Djojohadikusumo adalah seorang ahli ekonomi Indonesia yang telah  mencoba untuk mendongkrak pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia.  Pemberian modal usaha untuk rakyat masih dilakukan sampai sekarang  dengan perbaikkan di sana sini. Kita patut menghargai usaha dan program  yang ia laksanakan selama menjadi pejabat di negeri ini. Bapak dari  Prabowo Subianto ini juga sempat bergabung dalam PRRI (Pemerintahan  Revolusioner Republik Indonesia) bersama Natsir, Burhanuddin Harahap  dkk. Walaupun akhirnya dapat ditumpas oleh TNI. Hal tersebut tidak  membuat nama Sumitro Djojohadikusumo menjadi tercemar. Keahliannya dalam  bidang ekonomi membuat Presiden Soeharto menunjuknya menjadi Menteri  Perdagangan pada tahun 1968. Sumitro adalah ekonom Indonesia yang patut  kita banggakan.
Sumber Gambar: 
Pembangunan
Ibnu Sutowo
Pertamina
Bina Graha
Sumitro
Bangkrut
PRRI Permesta







No comments:
Post a Comment